Selasa, 11 Mei 2010

KATA PENGANTAR


Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Penulis sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karna itu untuk kesempurnaaan makalah ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis sendiri

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Dosen pada mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan ini serta pihak-pihak yang membantu dalam kelancaran penyusunan makalah ini.





Pengertian Dan Ciri Pokok Hakikat HAM
Pengertian
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Sebagai manusia, ia makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain.
Kesadaran akan hak asasi manusia , harga diri , harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan hak asasi manusia.
Ada beberapa point yang penting untuk di perhatikan diantaranya:
• HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan: 2002).
• Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
• John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
• Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
• HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
• Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.

Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
Ada 6 ham setidaknya. diantaranya adalah:
• 1. Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
• 2. Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
• 3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
• 4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
• 5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
• 6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat

Normatif (Pengertian dan Hakikat Hak Asasi Manusia)

Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. Sedangkan hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara.
Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :
a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.
• c. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.
2. Ciri Pokok Hakikat HAM
Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok hakikat HAM yaitu:
• HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
• HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa.
• HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).




Perkembangan Pemikiran HAM
• Dibagi dalam 4 generasi, yaitu :
o Generasi pertama berpendapat bahwa pemikiran HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya keinginan Negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan sesuatu tertib hukum yang baru.
o Generasi kedua pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukan perluasan pengertian konsep dan cakupan hak asasi manusia. Pada masa generasi kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan hak sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik.
o Generasi ketiga sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam suatu keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan. Dalam pelaksanaannya hasil pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan dimana terjadi penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga menimbulkan banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat lainnya yang dilanggar.
o Generasi keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominant dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak negative seperti diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat. Selain itu program pembangunan yang dijalankan tidak berdasarkan kebutuhan rakyat secara keseluruhan melainkan memenuhi kebutuhan sekelompok elit. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh Negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang disebut Declaration of the basic Duties of Asia People and Government
Perkembangan pemikiran HAM dunia bermula dari:
1. Magna Charta
Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolute (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaan nya dan mulai dapat diminta pertanggung jawabannya dimuka hukum(Mansyur Effendi,1994). Pada awal abad XII Raja Richard yang dikenal adil dan bijaksana telah diganti oleh Raja John Lackland yang bertindak sewenang–wenang terhadap rakyat dan para bangsawan. Tindakan sewenang-wenang Raja John tersebut mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak Raja John untuk membuat suatu perjanjian yang disebut Magna Charta atau Piagam Agung.
Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja
Isi Magna Charta adalah sebagai berikut :
Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak, dan kebebasan Gereja Inggris.
Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-hak sebagi berikut :
Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak penduduk.
Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah.
Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap, dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya.
Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur ditahan, raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.

2. The American declaration
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan Montesquuieu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.
3. The French declaration
Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration (Deklarasi Perancis), dimana ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah.
4. The four freedom
Ada empat hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang diperlukannya, hak kebebasan dari kemiskinan dalam Pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya, hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha, pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap Negara lain ( Mansyur Effendi,1994).
• Perkembangan pemikiran HAM di Indonesia:
o Pemikiran HAM periode sebelum kemerdekaan yang paling menonjol pada Indische Partij adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakukan yang sama hak kemerdekaan.
o Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang di Indonesia telah berlaku 3 UUD dalam 4 periode, yaitu:
1. Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, berlaku UUD 1945
2. Periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, berlaku konstitusi Republik Indonesia Serikat
3. Periode 17 Agustus sampai 5 Juli 1959, berlaku UUD 1950
4. Periode 5 Juli 1959 sampai sekarang, berlaku Kembali UUD 1945
Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar negara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.
Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewan Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.
Human Rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa bukan Social Rights. Bukankan Social Rights mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan ? Sesungguhnya dalam Human Rights sudah implisit adanya kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula menghormati hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati terhadap masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban. Contoh : seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, haruslah terlebih dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya.
Dengan demikian tidak perlu dipergunakan istilah Social Rights karena kalau kita menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah termasuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh mengganggu kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi tidak memperkosa hak-hak orang lain.
Ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia harus sesuai dengan latar belakang budaya Indonesia. Artinya, Universal Declaration of Human Rights kita akui, hanya saja dalam implementasinya mungkin tidak sama dengan di negara-negara lain khususnya negara Barat yang latar belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan kita. Memang benar bahwa negara-negara di dunia (tidak terkecualai Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja berpengaruh dalam pelaksanaan HAM. Tetapi, tidak berarti dengan adanya kondisi yang bersifat khusus tersebut, maka prinsip-prinsip mendasar HAM yang universal itu dapat dikaburkan apalagi diingkari. Sebab, universalitas HAM tidak identik dengan "penyeragaman". Sama dalam prinsip-prinsip mendasar, tetapi tidak mesti seragam dalam pelaksanaan.
Disamping itu, apa yang disebut dengan kondisi bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Artinya, suatu kondisi tertentu tidak dapat dipergunakan sebagai patokan mutlak. Kondisi itu memiliki sifat yang berubah-ubah, dapat dipengaruhi dan diciptakan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, masalahnya adalah kembali kepada siapa yang mengkondisikan dan mengapa diciptakan kondisi seperti itu ?



RULE OF LAW
STUDI TENTANG SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA
DI BARAT DAN DI INDONESIA
Rule of law yang diartikan sebagai ‘kekuasaan sebuah hukum’ merupakan tradisi hukum barat yang mengutamakan prinsip equality before law. Ungkapan yang sering mengekspresikannya adalah ‘government by law and not by men’. Diantara ciri-cirinya: adanya supremasi aturan-aturan hukum, kesamaan kedudukan di depan hukum, dan jaminan perlindungan HAM. Doktrin yang muncul pada abad ke-19 ini memberikan kebebasan bagi individu, mendasari terciptanya masyarakat yang demokratis, dan menjanjikan kepastian hukum tetapi disinyalir sarat dengan kepentingan sosial dan temporal masyarakat industrialis-kapitalis saat kemunculannya, sehingga sering missmatch dengan kondisi riil kekinian.
Karenanya muncul ketidakpuasan dan kritik dalam rangka menyempurnakan rule of law. Di Indonesia sendiri rule of law diadopsi secara taken for granted sebagai satu-satunya pemikiran hukum, padahal dalam realitanya hukumnya dinilai sering tidak mencerminkan rasa keadilan sosial dan menjauh dari masyarakat. Tawaran kemudian banyak muncul untuk mempertimbangkan ‘konsep lain’ yang lebih dinamis dalam berhukum seperti rule of justice, rule of social justice, rule of moral, atau rule of Pancasila disamping rule of law, untuk menjadikan hukum lebih adil dan memihak.
Keywords : Rule of law; penegakan hukum; dan keadilan
Hukum tidak bisa dipisahkan dari masyarakat, karena memiliki hubungan timbal balik (Teguh Prasetyo, 2007: 38). Ia akan selalu ada di setiap masyarakat di manapun juga di muka bumi ini dan bagaimanapun keadaannya, modern atau primitip. Dalam kehidupan bernegara, hukum bukan hanya peraturan, melainkan sebuah norma yang oleh negara dipaksakan seperlunya. Dengan demikian, hukum mengikat segenap warga negara dengan mekanisme keberadaan sebuah sangsi sebagai “pemaksa”. Karenanya, ia ditaati tidak saja oleh yang lemah, tetapi juga oleh pihak yang kuat.

Hukum memainkan banyak peran dalam masyarakat. Teguh Prasetyo (2007: 39), menyebut tiga peranan utama hukum dalam masyarakat, yakni pertama, sebagai sarana pengendalian sosial; kedua, sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial; ketiga, sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu.
Dengan ungkapan lain, Zainuddin Ali (2006: 37-39) mengemukakan bahwa peran dan fungsi hukum sebagai sosial kontrol di dalam masyarakat, alat untuk mengubah masyarakat, simbol pengetahuan, instrumen politik, dan sebagai alat integrasi. Anton Freddy (2005: 89) menyebut peranan hukum sebagai sarana pembentukan perilaku dalam masyarakat untuk menghubungkan kepada seperangkat tujuan melalui orang-orang yang memiliki pengaruh di dalamnya. Sedangkan Theo Huijbers (1982: 289) menyebut bahwa fungsi hukum adalah untuk memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, mewujudkan keadilan sosial dalam hidup bersama. Ketiga hal ini tidak saling bertentangan, tetapi merupakan satu konsep dasar, yakni bahwa manusia harus hidup dalam suatu masyarakat, dan masyarakat itu harus dapat diatur dengan baik.

Supremasi hukum (rule of law) dapat dianggap sebagai unsur utama yang mendasari terciptanya masyarakat yang demokratis dan adil. Jika hukum tidak ditegakkan betul, selalu ada kecenderungan dari pihak-pihak yang kuat untuk bersikap sewenang-wenang dan yang lemah diperlakukan tidak adil. Yang lemah dapat diambil haknya, bukan karena yang kuat itu berhak, tetapi karena yang lemah itu memang salah. Pemerintahan dapat disebut berdasarkan hukum apabila menyatakan bahwa hukum adalah otoritas tertinggi dan bahwa semua warga negara—termasuk para pejabat pemerintah—tunduk pada hukum dan sama-sama berhak atas perlindungannya. “Kesepatakan” bersama untuk menerima ini akan menjanjikan munculnya sebuah keteraturan dalam hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Dalam keadaan supremasi hukum yang sudah established, maka kepentingan dari semua orang akan terlindungi, termasuk dari pihak yang kuat. Bagi masyarakat hal ini merupakan sebuah keberuntungan jika semua mengikuti hukum. Adalah Imanuel Kant, seorang filosof yang memikirkan persoalan ini lebih 300 tahun yang lalu, dia mengatakan bahwa dalam negara dengan hukum yang baik, maka rakyat yang terdiri atas setan-setanpun akan menaati hukum. Menurut Frans Magnis Suseno dalam forum kajian hukum Freedom Institute 14 Mei 2007, apa yang hendak dikatakan Kant adalah bahwa meskipun orang-orang berwatak jelek, tapi karena hukum begitu masuk akal dan menguntungkan semuanya, maka mereka dengan sendirinya akan mengikutinya juga.
Ini juga berarti bahwa yang kuat pun akan beruntung karena adanya aturan yang jelas. Yang kuat tetap dapat memakai kekuatannya dalam ruang yang bebas, misalnya persaingan ekonomi. Di sini yang kuat bisa menang, tapi bukan dengan tidak adil.
Penelitian ini bersifat library research (kepustakaan) dengan mengkaji berbagai macam data berkenaan rule of law dan penegakan hukum, baik yang berasal dari sumber primer maupun sumber sekunder.
Data yang didapat selanjutnya akan dianalisis dengan mengunakan content analysis, yaitu tehnik yang digunakan untuk menganalisis makna yang terkandung di dalam teks-teks tersebut, dan selanjutnya data disajikan dalam bentuk deskriptif-analitis.

Dalam tulisan ini akan dielaborasikan lebih lanjut tentang makna rule of law, latar belakang kemunculannya, prinsip-prinsip yang dianutnya, dan penegakan hukum (rule of law) di Indonesia. Penulis juga merasa perlu untuk menelaah dinamika pemikiran rule of law dalam konteks keindonesiaan sebagai bahan kajian lebih lanjut.

DefinisdanSejarahPerkembanganRuleofLaw
Secara literal rule of law (supremasi hukum) menurut Josep Raz (1979: 212) dapat diartikan sebagai “kekuasaan dari sebuah hukum”. Secara luas, rule of law memiliki makna: “…that people should obey the law and ruled by it”. Ini berarti bahwa masyarakat berkewajiban untuk mentaati hukum dan dikendalikan dengannya.
Hanya saja, lanjut Raz dalam politik dan teori hukum pemaknaan ini menjadi sempit, yakni bahwa pemerintah hendaknya dikendalikan oleh hukum dan menjadi subyek terhadapnya. Dalam pengertian ideal seperti ini, supremasi hukum sering diekpresikan dengan ungkapan ‘government by law and not by men’, meskipun pada kenyataannya pemerintahan memang harus terdiri dari hukum dan manusia. Makna rule of law mengharuskan seluruh tindakan pemerintah memiliki landasan dan memiliki pengesahan hukum.

Aspek literal Rule of law memiliki dua aspek, yakni: pertama, bahwa setiap orang harus dikendalikan oleh hukum dan mentaatinya; kedua, bahwa hukum hendaknya menjadikan orang mampu diarahkan dengannya. Ini berarti bahwa hukum harus dapat untuk ditaati. Seseorang dituntut oleh menyesuaikan diri dengan hukum dan bukan untuk melanggarnya. Hanya saja ketaatan seseorang terhadap hukum terjadi jika yang bersangkutan memiliki “kecocokan” dengan pengetahuannya.
Oleh karenanya, hukum yang akan ditaati hendaknya bersifat must be capable of guiding the behavior of its subject. Hukum hendaknya dapat diketahui maksudnya dan dapat dijadikan pijakan dalam bertindak. (Raz, 1979: 213)

Moch. Mahfud MD (1999: 127) menyebut bahwa rule of law dianut oleh negara-negara-negara dengan tradisi Anglo Saxon yang bertumpu pada sistem common law . Rule of law mengutamakan prinsip equality before law. Adapun ciri-cirinya adalah :

1. Adanya supremasi aturan-aturan hukum,
2. Adanya kesamaan kedudukan di depan hukum, dan
3. Adanya jaminan perlindungan HAM.


A.V. Dicey (2007: 264-265) mengartikan rule of law dalam tiga definisi yang berbeda. Pertama, rule of law berarti supremasi hukum atau superioritas hukum regular yang mutlak yang bertentangan dengan pengaruh kekuasaan yang sewenang-wenang, dan mencabut hak prerogatif atau bahkan kekuasaan bertindak yang besar di pihak pemerintah. Kedua, ia juga berarti kesetaraan di depan hukum, atau ketundukan setara semua kelompok masyarakat kepada hukum umum negara yang dijalankan oleh Mahkamah hukum umum. Ketiga, adalah fakta bahwa hukum konstitusi, aturan-aturan yang di luar negeri membentuk sebagian undang-undang konstitusi.

Rule of law sebagaimana dinyatakan Ensiklopedi Wikipedia merupakan prinsip dasar yang menyatakan bahwa tidak ada seseorangpun yang berada di atas hukum. Dalam pampletnya Common Sense (1776), Thomas Paine menyatakan bahwa: “dalam pemerintahan absolute, raja adalah hukum, tetapi dalam Negara-negara yang bebas, maka hukum harus menjadi raja dan bukan yang lainnya”. Di Inggris, dideklarasikannya Magna Carta (1215) merupakan contoh riil tegaknya rule of law terutama pada masa klasik.

Sunarjati Hatono (1976:30) menyebut inti pengertian rule of law adalah jaminan apa yang disebut sebagai keadilan sosial. Selanjutnya Sunarjati (1976: 28) mengutip pendapat Friedman, memakai kata rule of law dalam arti formil dan arti materiil. Dalam arti formil, rule of law diartikan sebagai organized public power atau kekuatan umum yang terorganisir. Dalam pengertian ini maka setiap organisasi hukum (termasuk negara) memiliki rule of law-nya sendiri.
Sedangkan dalam arti materiil, rule of law adalah hal yang menyangkut ukuran-ukuran tentang hukum yang baik dan hukum yang buruk, yakni tentang just dan unjust law.

Doktrin rule of law mulai muncul pada abad ke-19 berbarengan dengan negara konstitusi dan demokrasi. Kehadirannya dapat disebut sebagai reaksi dan koreksi terhadap negara yang absolut sebelum itu. Satjipto (2006: 14) menyebut kemunculannya sebagai necessary evil, sesuatu yang buruk tetapi harus terjadi. Dari dunia yang sebelumnya tidak mengenal negara, tidak dapat diharapkan begitu saja memunculkan ‘negara berkonstitusi’. Paham negara, apapun bentuknya harus dimunculkan terlebih dahulu, dan itulah yang terjadi.

A. Gunaryo menambahkan (2006) bahwa kemunculan rule of law erat sekali dengan gerakan-gerakan sosial dan pola-pola kehidupan sosial yang menempatkan kebebasan individu sebagai prinsip dasar dari organisasi sosial. Thomson sebagaimana dikutip Gunaryo menegaskan bahwa konsep rule of law lahir di Inggris sebagai akibat dari munculnya gerakan pembebasan diri dari penindasan raja,
sebuah kekuasaan yang absolut dan serba meliputi, dan dominasi kelas kelas-kelas sosial yang kuat. Di Amerika, konsep ini diberlakukan untuk menjamin kemerdekaan individu melalui hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rule of law memiliki akar historis dan sosiologis yang kuat dengan dunia barat. Gerakan-gerakan ini membawa banyak perubahan diantaranya munculnya negara modern.

Perlu ditambahkan pula bahwa sementara rule of law memimiliki hubungan dengan kebebasan politik individual, konsep ini juga memiliki hubungan dengan kapitalisme kompetitif. Ekonomi pasar menurut mereka turut mengkondisikan rule of law dan outcome-nya.
Dalam pandangan mereka kapitalisme yang kompetitif hanya akan berjalan dengan sangat baik jika ditopang oleh aturan tatanan hukum yang di didasarkan pada rule of law. Dengan rule of law, pertukaran di pasar, perencanaan dan implementasi investasi untuk membuat keuntungan-keuntungan pribadi pribadi, kepemilikan usaha, dan lain-lain diberikan perlindungan yang terukur (A. Gunaryo, 2006).

Konsepsi negara hukum model rule of law yang lebih menitik beratkan individualisme tersebut telah menjadikan pemerintah sebagai “penjaga malam” (nachwachtersstaat) yang lingkup tugasnya sangat sempit dan terbatas (Mahfudz, 1999: 130). Pemerintah dituntut pasif dan hanya menjadi pelaksana berbagai keinginan rakyat yang dituangkan dalam undang-undang oleh parlemen. Agar tidak terjerumus dalam absolutisme, kekuasaan pemerintah dibatasi secara ketat. Konsep negara hukum abad XIX dikenal sebagai konsep negara hukum formal ini yang melahirkan berbagai kesenjangan sosial dan ekonomi. Individualisme liberal telah menyebabkan dominannya pemiliki modal dalam parlemen yang berdampak pada dibuatnya produk hukum yang menguntungkan kaum kapitalis. Pemeritah dalam hal ini tidak dapat berbuat banyak dan tidak boleh campur tangan selama tidak bertentangan dengan undang-undang.

Keadaan diatas menurut Mahfudz (1999: 130) melahirkan ketidakpuasan sehingga memunculkan gagasan tentang welfare state (negara hukum material). Gagasan ini didorong oleh sejumlah faktor yang merupakan ekses industrialisasi dalam sistem kapitalis, paham sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata dan kemenangan beberapa partai sosialis di Eropa.
Berbeda dengan gagasan negara hukum formal yang melarang pemerintah untuk turut campur dalam kegiatan masyarakat, negara hukum material menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat karenanya tidak boleh pasif. Demokrasi diperluas cakupannya hingga masalah sosial ekonomi sehingga tidak berhenti pada perlindungan hak sipil dan politik semata.
Dalam bidang ekonomi harus diterapkan sebuah sistem yang dapat menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan mampu memperkecil perbedaan sosial dan ketidakmerataan distribusi kekayaan di kalangan rakyat. Untuk itu pemerintah diberi kewenangan untuk turut campur dalam berbagai kegiatan masyarakat dengan cara-cara pengaturan, penetapan dan materiale daad.
Ciri negara hukum dari konsep rule of law dan rechtstaat karenanya perlu dirumuskan kembali. Perumusan kembali ciri-ciri tersebut akhirnya dihasilnya dari International Comission of Jurist pada konferensinya di Bangkok pada tahun 1965 yang mencirikan konsep negara hukum yang dinamis atau negara hukum material, sebagai berikut:

1. Adanya perlindungan konstitusional. Selain dapat menjamin hak-hak inidividu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2. Adanya kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3. Adanya Pemilihan Umum yang bebas.
4. Adanya kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
5. Adanya pendidikan kewarganegaraan.

Rule of Law dan Penegakan hukum di Indonesia
Konsepsi Negara hukum Indonesia merupakan konsepsi sintetis dari beberapa konsep yang berbeda tradisi hukumnya. Mohamad Mahfud MD (1999: 139) menyatakan bahwa negara Indonesia ini diwarnai oleh campur aduk antara konsep-konsep rechtstaat, the rule of law, negara hukum formal, dan negara hukum material yang kemudian diberi nilai keindonesiaan sebagai nilai spesifik sehingga menjadi negara hukum Pancasila.
Konsepsi sintesis seperti ini meskipun lahir dari kebutuhan lingkungan masyarakat Indoenesia yang spesifik tetapi mengandung resiko berupa seringnya muncul perdebatan tentang konsep negara hukum dengan acuan berbeda.
Yang satu mengacu pada rechtsstaat sedangkan yang lain mengacu pada the rule of law, atau yang satu mengacu pada negara hukum formal dengan legisme-nya, sedangkan yang lain mengacu pada hukum material dengan just law-nya. Tradisi hukum Anglo Saxon yang bernama Rule of law masuk dalam UUD 1945 dapat dilihat minimal dari pasal 27 yang menentukan bahwa setiap warga Negara berkedudukan sama di depan hukum dan pemerintahan.
Sementara itu istilah rechtstaat dan pelembagaan dunia peradilan yang membuka peradilan administrasi (tata usaha) Negara adalah cermin dari penganutan atas konsep negara hukum yang bersumber dari tradisi Eropa Kontinental. Dalam sejarah perkembangan negara Indonesia sejak berdirinya (17-08-1945) sampai sekarang ini ternyata realisasi negara hukum masih jauh dari yang dicita-citakan.
Dari segala kekurangan pemerintahan-pemerintahan masa lalu dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia, pemerintahan rezim Orde Baru dapat disebut sebagai yang paling gagal. Bukan saja gagal, tetapi bahkan lebih lanjut rezim tersebut secara langsung atau tidak langsung menginjak-injak hukum, mengabaikan hukum, menyalahgunakan hukum, dan merekayasa hukum demi menjamin kelangsungan kekuasaannya.

Maka menurut MD Kartaprawira (2000) yang berlaku bukan lagi rule of law, yang menuntut agar peraturan hukum berfungsi menegakkan keadilan, melindungi hak-hak sosial dan politik warganegaranya dari pelanggaran-pelanggaran baik yang dilakukan oleh penguasa maupun warga. Tetapi rule by law, di mana segala peraturan hukum yang berlaku ditujukan untuk mengabdi kepada kepentingan rezim demi kelanggengannya dan pembenaran atas tindakan-tindakannya yang anti demokrasi, anti nasional, anti keadilan dan anti HAM.
Di bawah rezim Orde Baru hukum dijadikan alat yang efektif untuk melaksanakan dominasi politik, mengontrol, mengendalikan, dan mengintervensi lembaga-lembaga negara dan parpol-parpol agar tidak membahayakan kekuasaannya. Itulah salah satu identitas rezim diktatur Orde Baru di Indonesia yang berlangsung selama 32tahun.

Di Orde Reformasi, keadaan ini sedikit membaik. Kebebasan berorganisasi dan berpolitik mulai mendapatkan tempatnya. Lembaga-lembaga hukum tidak lagi sepenuhnya dikendalikan pemerintah. Kasus-kasus yang melibatkan mantan pejabat-pejabat negeri ini telah dapat dimeja hijaukan meskipun penyelesaiannya tidak menggembirakan.
Kasus KKN Suharto dan kroni-kroninya diselesaikan dengan sangat manipulatif. Misalnya kasus korupsi jamsostek sebesar Rp 7,2 milyar yang diloloskan oleh Suharto sewaktu masih berkuasa tanpa melalui proses pengadilan, lolos pula di era reformasi berdasarkan Surat Putusan Pemberhentian Perkara (SPPP) Jaksa Agung dikarenakan tidak ditemukannya cukup bukti. Hal ini tentu cukup memukul “rasa keadilan” masyarakat.

Diantara fenomena terakhir yang sangat menciderai dunia penegakan hukum kita adalah ketika praktek sogok menyogok hakim dan jaksa dalam penanganan sebuah perkara, banyak terjadi. Kasus jual beli tuntutan hukum yang melibatkan jaksa “brilian” Urip Tri Gunawan adalah contoh kongkritnya.
Perihal keterlibatan oknum aparat yang seharusnya berdiri di garis terdepan dalam menegakkan supremasi hukum itu sendiri dalam berbagai kasus suap, korupsi, memang merupakan fakta yang tidak bisa ditutup-tutupi. Hakim disuap. Jaksa menerima upeti dari orang ang sedang diadili perkaranya. Kasus jaksa Urip dimungkinkan hanya salah satu diantara gunung es kebobrokan penegakan hukum kita.

Hanya saja wajah hukum kita dewasa ini sedikit sumringah dengan mulai banyaknya proses hukum terhadap orang-orang “besar” yang dalam beberapa waktu lalu seakan tabu. Proses hukum terhadap mantan Presiden, anggota DPR RI, mentri dan mantan mentri, Jendral TNI, Kabulog, Gubernur, dan Bupati/Kepala Daerah adalah suatu yang lumrah terjadi meskipun penyelesaian hukum dalam persidangan dan hasil keputusannya adalah masalah lain. Setidaknya tidak ada kesan lagi manusia yang “kebal” hukum di negara Indonesia ini.
Proses hukum terhadap Muhdi PR, seorang petinggi BIN, terkait pembunuhan aktivis HAM Munir adalah salah satu contoh terbaru dan riil untuk hal ini. Law enforcement mulai mendapatkan tempatnya.
Kedudukan hukum adalah sebagai pilar utama pembangunan bangsa. Jika hukum diabaikan dan terciderai, maka pembangunan masa depan bangsa akan terbengkalai. Misalnya, korupsi yang belum dituntaskan akan mempengaruhi pembangunan ekonomi bangsa. Demikian juga dengan berbagai problema lainnya. Karena itu, berbagai kasus yang terjadi belakangan ini mengisyaratkan bahwa penegakan supremasi hukum di tanah air masih mengalami ujian yang sangat berat.
Peristiwa bebasnya sejumlah bandar narkoba, pelaku illegal loging, penyerobotan tanah orang lain, pelaku korupsi, dan lain-lain dari jeratan hukum semakin membuktikan bahwa supremasi hukum belum benar-benar ditegakkan. Hukum masih terkesan pandang bulu. Perlakuan bagi pelanggar hukum masih sering memilah dan memilih.
Jika kita ingin membangun republik ini, maka seharusnya upaya menegakkan supremasi hukum adalah sebuah kemutlakan. Penegakan hukum tidak boleh bersifat sesaat atau suam-suam kuku. Asas ini digunakan sebagai langkah awal yang bijak dalam memelihara tegaknya supremasi hukum. Tegaknya supremasi hukum akan melahirkan kepastian. Kepastian tentang mana yang benar dan mana yang salah. Bukan malah menciderai hukum itu sendiri.
Dari kehidupan sehari-hari, sering sekali kita menyaksikan bahwa keadilan dan hukum masih lebih berpihak kepada yang bayar, kepada penguasa dan pengusaha. Sementara rakyat kecil sering sekali terpinggirkan. Potret seperti inilah yang sering terjadi selama ini. Akhirnya, supremasi hukum pun menjadi terkoyak. Karena itu, kalau ditemukan ada aparat penegak hukum yang tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, seharusnya ada sangsi dan tindakan yang jelas dari pejabat yang berwewenang
Adalah Satjipto Raharjo, seorang guru besar hukum dari Universitas Diponegoro, yang menurut pengamatan A. Gunaryo (2006), pada masa kontemporer yang dalam berbagai tempat dan kesempatan secara vocal melakukan kritik terhadap sikap “pasrah” menerima Rule of Law atau bahkan membabi buta dengan menganggapnya sebagai capaian final dalam perkembangan hukum di Indonesia. Pandangan yang menjamur di kalangan praktisi hukum maupun akademisi bahkan menyebut bahwa sistem hukum ini sebagai satu-satunya koridor pemikiran hukum
Satjipto menegaskan bahwa sistem hukum ini bukanlah sebuah institusi netral, tetapi merupakan suatu legalisme, suatu aliran pemikiran hukum yang di dalamnya terkandung wawasan sosial, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat, dan negara serta nilai-nilai tertentu. Sebagai sebuah institusi sosial yang memiliki struktur sosiologis dan akar budayanya sendiri, rule of law tumbuh dan berkembang ratusan tahun lamanya seiring dengan perkembangan masyarakat dan bangsa-bangsa di Eropa. Karenanya dapat dikatakan bahwa rule of law berstruktur sosiologis dan berakar pada budaya Eropa. (Satjipto Raharjo, 2006: 8)
Prinsip-prinsip Rule of Law di Indonesia
● Prinsip-prinsip rule of law secara formal tertera dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan:
a. bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa,…karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan “eri keadilan”;
b. …kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil” dan makmur;
c. …untuk memajukan “kesejahteraan umum”,…dan “keadilan social”;
d. …disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu “Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”;
e. “…kemanusiaan yang adil dan beradab”;
f. …serta dengan mewujudkan suatu “eadilan social” bagi seluruh rakyat Indonesia.